Aku diterima apa adanyaLive-in sosial dimulai Rabu 7 oktober 2009, saya memulai perjalanan ke Cilincing pada pukul 07.30 dari Seminari Wacana Bhakti. Saat live-in sosial ini saya bersama dengan Elson dan Andre . Sebelum saya dan teman-teman saya menuju lokasi live-in, saya bergegas dahulu ke Paroki Kateral, tepatnya pada bagian Lembaga Daya Dharma(LDD), dimana LDD ini berfungsi untuk menghimpun pribadi atau sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa sosial dalam berbagi terhadap sesama. Saya sampai di Katedral ini pada pukul 09.00, dan menunggu seseorang yang menjemput saya dan kedua teman saya untuk dibawa menuju tempat live-in higga pukul 10.00. Saat jam 10.00, kami dijemput oleh seorang bapak, yang bernama Pak Taher. Dengan sedikit menceritakan kondisi di tempat live-in nanti, pikiran kami langsung menerawang jauh perkiraan tempat live in nanti. Tak sabar untuk tinggal di Cilincing, Saya, Elson, Andre dan Pak Taher pun langsung bergegas menuju tempat live in di Cilincing dengan menggunakan taksi.
Setelah terbangun dan keluar dari taksi, saya langsung mencium hawa udara yang berbeda, bau amis sangat pekat sekali terasa. Taksi ini menghantar kami kedepan tumpukan sampah yang cukup menggunung. Dengan perlahan kami berjalan di tengah-tengah hamparan sampah untuk dapat masuk ke Kampung Bambu, dimana kampung ini merupakan kampung yang banyak dihuni oleh suku Bugis. Setelah melewati hamparan sampah, Saya mulai memasuki sebuah gang kecil menuju banyak gang tikus. Jalan yang saya lewati ini tidak dialasi oleh lapisan pasir ataupun semen seperti layaknya jalan yang biasa saya lihat, melainkan saya berjalan diatas urukan kulit kerang, rumah warga Kampung Bambu ini berbentuk rumah panggung, dimana pada awal mulanya Rumah masyarakat ini adalah rawa-rawa yang sangat luas. Suasana sepi siang hari ini membuat saya semakin penasaran untuk tahu lebih banyak tentang Kampung Bambu ini. Tidak terasa seteah berjalan kurang lebih 10 menit, saya sampai di Rumah Sekolah, dimana rumah sekolah ini adalah sekolah yang dibangun oleh Pak Taher dengan bantuan LDD untuk memberikan ilmu pengetahuan bagi anak usia 4-6 tahun yang benar-benar kurang mampu, karena Rumah sekolah ini sama sekali tidak memungut biaya dalam memberikan pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu di Kampung Bambu dan sekitarnya. Ini adalah tempat live in saya di Cilincing.
Setelah saya membenahi tas saya di dalam Rumah Sekolah ini, saya juga bekenalan dengan Bu Mini, salah satu pengajar di Rumah Sekolah ini dan juga orang yang memantau kami selama kami live in di Cilincing, karena rumah bu Mini ini terletak tepat di depan rumah sekolah. Setelah berkenalan dengan Bu Mini, Saya, Elson, Andre dan Pak Taher mulai berjalan menelusuri pelosok-pelosok daerah Nelayan ini, lewat jalan-jalan tikus, Saya akhirnya menemukan tepi pantai yang dipenuhi oleh kapal tradisional milik Nelayan. Disana saya diajak melihat tempat pemotongan besi-besi kapal yang sudah tidak berguna lagi untuk nantinya menjadi barang kiloan. Setelah berjalan menyusuri pantai selama 15 menit, sampailah kami ke KrematoriumI(Tempat pembakaran Mayat) Cilincing. Setelah saya merasa udara cukup panas dan bau amis yang sangat menyengat kami memutuskan untuk kembali ke Rumah Sekolah untuk beristirahat. Sebelum kembali ke Rumah Sekolah, saya dan yang lainnya menyempatkan diri unruk dating ke Rumah Dedengkot Kampung Bambu, yang katanya kampong bamboo ini adalah cikal bakal yang dibuat oleh Haji Gandring, yang tidak lain ialah ayah dari Pak Taher. Setelah bangun tidur, kami langsung ngatri mandi, yang ternyata di Kampung Bambu ini, sangat susah untuk mencari air bersih, jadi setiap rumah warganya menunggu giliran sebuah selang yang digilir tiap rumahnya. Jadi, kali ini, Saya, Elson dan Andre hanya mendapatkan satu bak mandi yang nantinya akan kami gunakan selama 4 hari 3 malam dan keperluan toilet bagi para pelajar yang bersekolah di Rumah Sekolah ini. Sorenya setelah mandi, ternyata sudah banyak anak-anak Kampung Bambu yang mengintip dari jendela luar, maka kami menggandeng anak-anak itu untuk masuk dan berkenalan lebih dekat dengan kami. Saya mulai mengenal beberapa nama baru, antara lain Oji, Dimas, Diana, Desi anak dari Bu Mini, Robi, Bayu, Habib dan masih banyak anak lainnya yang tidak dapat saya ingat. Menjelang malam, anak-anak Kampung Bambu semakin ramai berkunjung dan berbincang-bincang, serta bercerita dengan Saya dan teman-teman saya. Setelah anak-anak itu kembali ke rumah mereka asing-masing, sayapun beranjak pergi ke rumah Bu Mini dan juga berbincang dengan suaminya yang baru pulang dari kerjaannya, mengurus surat jalan kapal. Setelah jam menunjukan pukul 11.00 kamipun langsung bergegas tidur.
Setelah sekitar jam 01.00 kedinginan dan memulai hari Kamis 8 oktober ini dengan mencuci muka saja, sayapun langsung beranjak menuju keluar kampung bambu untuk mencari sarapan, dan akhirnya pagi ini saya sarapan Nasi uduk dengan harga yang bisa dibilang cukup murah. Setelah sarapan dengan nasi uduk dan kue ringan dari Bu Mini, sayapun menunggu jam 08.00 untuk mulai mengajar anak-anak Kampung Bambu yang sangat memerlukan pendidikan. Setelah jam 08.00 dan kelas sudah siap untuk dimulai, Bu Mini yang merupakan salah satu guru Rumah Sekolah ini mengajak anak-anak untuk berdoa dengan nyanyian, sehingga tercipta suasana belajar yang menarik. “ Bila aku berdoa, kuangkat tanganku.. Dengan suara lembut tidak berteriak… Doa sungguh-sungguh agar dikabulkan… Berdoa mulai.. Bissmillah hir…” itulah lirik dari lagu yang sengaja diciptakan oleh Bu Mini. Pagi ini dibuka oleh perkenalan diri Kami. Guru ini tidak hanya Bu Mini, melainkan masih ada Bu Mega yang cuti karena baru melahirkan, dan Bu Siti yang ternyata masih seumuran dengan saya. Acara belajar mengajarpun berlangsung dengan diawali gerakan-gerakan dan tarian dan dilanjutkan dengan menggambar. Dikelas A ini, saya merasa ada anak kecil yang bernama Yashinta Putri mencoba untuk dekat dengan saya, ia selalu minta bantuan dengan saya, anak ini menurut saya lucu akan tatapi ia memiliki latar belakang keluarga yang kurang baik, hal ini diceritakan oleh eangnya yang datang ke rumah sekolah untuk menghantarnya. Saya merasa saya langsung dipercaya warga sekitar bahwa maksud kedatangan saya baik di sini. Lalu, pada saat kelas B, saya mengajar B.Inggris, karena mereka tertarik untuk mencoba hal yang baru. Elson mengajarkan bahasa Inggris bagian-bagian tubuh dengan nyanyian-nyanyian. Setelah proses belajar mengajar selesai, saya langsung memilih untuk lekas tidur, saya merasa bahwa mengajar bukanlah hal yang mudah, tetapi adalah hal yang melelahkan, apalagi mengajar anak-anak yang masih berumur 4-6 tahun. Setelah terbangunm ternyata sudah ada anak-anak kampung bambu yang masih bermain di Rumah Sekolah ini. Setelah bangun dan makan siang, saya langsung ke rumah Bu Mini untuk belajar membuka kulit kerang, dimana karena disana itu mata pencaharian mereka sebagai pengupas kijing (Kerang ijo) yang dihargai 8.000 per kilo, dan saya pribadi mendapatkan kerang saberat 1 kilo itu lama sekali proses pengumpulannya. Lalu karena kaki saya mulai kesemutan, saya pun mengistirahatkan kaki sejenak. Setelah jam 18.00/Magrib, saya kembali ke Rumah Sekolah untuk istirahat. Tetapi sebelum pulang, saya disuruh ibu Mini untuk mencari kerang yang lumaya besar untuk di “fried chicken”kata warga disana. Lalu, ternyata saat anak-anak di rumah sekolah yang biasa diajarkan mengaji oleh ibu Mini, hari ini berbeda, dimana mereka tidak mau belajar mengaji, tetapi lebih ingin diajari Bhs. Inggris oleh kami bertiga. Lalu [erlajaran bahasa inggris ini dilanjutkan dengan bermain bersama. Suasana sangat ramai di Rumah Sekola ini. Setelah jam 10.00, Andre dan Elson telah tertidur, dan saya masih dapat terbangun karena tidur tadi siang sangat lama. Karena saya bosan tidak bisa tidur, saya memutuskan untuk pergi menonton dangdutan (acara kondangan warga), disana saya melihat banyak orang yang bergoyang bersama untuk mengakrabkan suasana. Setelah bosan melihat dangdutan ini, sayapun memutuskan untuk kembali bermain Playstation ke rental bersama Supri. Setelah sekitar 1 jam saya tengah bermain sayapun kembali ke Rumah sekolah. Walaupun telah menonton dangdutan rasa kantukpun tetap tidak ada, maka sekitar jam 1 pagi, saya masih melamun di saung depan Rumah Sekolah. Tiba-tiba warga di depan rumah bu Mini keluar rumah dan mengajak saya berbincang-bincang dirumahnya. Suasana ramahpun saya dapatkan disini, karena mereka adalah suku bugis yang dapat menerima orang apa adanya. Setelah sekitar mengobrol sampai jam 2.30, sayapun memutuskan untuk kembali ke Rumah Sekolah untuk tidur, saat saya membuka pintu tiba-tiba sesosok badan yang kecil berlari menyapari saya,saya kaget, setelah saya menegaskan pengelihatan saya, ternyata itu adalah Supri. Supri kembali ke rumah sekolah karena Supri takut dirumah sendirian, karena kedua orang tuanya belum pulang, jadi sayapun menemani tidur dirumahnya.
Setelah terbangun pagi ini, Jumat 9 oktober, sayapun langsung kembali ke rumah sekolah, dan ternyata saya dicari-cari oleh warga sekitar rumah sekolah, sayapun sangat kaget, karena ternyata saya dicari penduduk disana. Lalu saya mencari Elson dan Andre yang katanya sedang mencari saya dan juga sedang membeli makan. Setelah makan, jam 8.00, Saya, Andre, Elson, Siti dan bu Mini kembali mengajar anak-anak kecil, Susanapun lebih cair ketimbang saat kami bertemu awal kali. Ada satu anak yang selalu tertawa terus apabila melihat saya, namanya adalah Yashinta Putri, anak ini menurut sangat lucu, karena kemarin meminta saya untuk menggambar bunga dan hari ini menyuruh saya mengajarkan berjoget dalam bahasa inggris. Setelah pelajaran sekolah yang berlangsung 2 jam ini selesai, Kami semua berbincang dengan Pak Taher, dengan tujuan nanti sore kami diajak pergi jalan-jalan mengitari Kampung bambu ini oleh Siti. Jadi, setelah perkumpulan ini selesai, kamipun langsung tertidur, karena kami merasa kelelahan. Sorenya sekitar jam 15.30, kami kerumah bu Mini untuk berkumpul dan bersama-sama pergi mengitari Cilincing, saya menyusuri pantai, melihat tempat pemotongan kapal, ke Rumah Suster Cinta Kasih dan selama dperjalanan kai selalu berbincang-bincang sebagai sarana menambah pengetahuan kami bertiga. Karena sudah magrib, kami putuskan untuk mandi terlebih dahulu dan berkumpul kembali sekitar jam 19.00. Setelah jam 19.00, saya dan yang lainnya serta pak Taher kembali berkumpul di rumah bu Mini, malam ini setelah makan”fried chicken”ala kampong bambu, kamipun melakukan perjalanan kembali. Perjalanan malam ini lebih jauh dibandingkan sore tadi. Selama perjalanan kami melewati rumah pak Taher, ke jembatan kampong nelayan, yang katanya sering sekali terjadi penjamberetan dan pencopetan pada malam hari, juga kami melewati banyak tempat prostitusi di daerah kampong nelayan ini. Setelah menyusuri kota kecil ini, kami putuskan untuk kembal berpencar ke rumah masing-masing untuk tidur, karena tidak dapt dipungkiri, kaki ini sangat pegal dan lelah. Setelah kami berpisah dengan Siti dan Pak Taher, kamipun tidur kembali di Rumah Seklah.
Sabtu,10 Oktober kami bangun jam 06.00, setelah cuci muka kami berjalan mencari nasi usuk untuk sarapan kami. Disana tiba-tiba saya mendengar suara anak kecil, kak Jatra, ternyata saya bertemu kembali dengan Yashinta Putri, maka saya, Yashinta Putri dan neneknya berbincang-bincang sejenak sembari menunggu nasi uduk disiapkan. Setelah saya berpamitan dengan Puput dan nenknya, saya kembali ke Rumah Sekolah untuk makan. Setelah makan dan bersiap-siap untuk kembali ke Seminari, sayapun berpamitan dengan bu Mini dan mengucapkan terima kasih banyak atas segala bantuannya selama saya di sini. Lalu, setelah pak Taher menjemput kami, kamipun dibawa untuk ditunjukan arah jalan pulang oleh pak Taher dan kami pamitan dengan Pak Taher yang juga sangat berperan besar saat saya live-in di Cilincing ini.
Dari perjalanan hidup 4 hari 3 malam ini, banyak sekali buah-buah refleksi yang bisa saya ambil, dimana saya melihat adanya perjuangan hidup dari masing-masing pribadi disana yang sangat kuat. Mereka bagi para lelaki biasanya setiap siang hari bekerja dilaut lepas untuk berternak kerang hijau. Selain melihat perjuangan hidup yang begitu tunggi, saya melihat bahwa saya harus belajar banyak dari penduduk disana atas kerendahan hati mereka, dimana disana kami diterima apa adanya, mereka memberikan dari kekurangan mereka. Saya merasa saya sangat diterima dengan baik dengan penduduk disana, terutama saya merasa sangat diterima dengan anak-anak cilincing dimana saya dan kedua teman saya setiap harinya selalu menemani teman-teman cilincing ini untuk bermain bersama dirumah bambu ini. Mereka dapat menerima kami apa adanya tanpa melihat fisik kami. Saya yang terlihat seperti orang chinesse ini tetap mereka terima dengan baik, apalagi saat setelah saya enonton dangdutan dan saya ngobrol bersama dengan salah satu penduduk disana hingga larut pagi. Saya merasa mereka adalah orang-orang yang ramah, walaupun secara fisik meemang meraka terlihat seperti preman. Mereka adalah orang-orang yang terbuka, mereka bercerita apa adanya dan saya merasa sangat senang dapat saling berbagi wawasan dengan mereka. Warga penduduk di daerah ini sangat senang sekali untuk berkomunikasi satu sama lain, mereka dapat secara cepat akrab dengan penduduk yang baru. Live in ini merupakan kenangan yang baik bagi diri saya.